Hujan deras mengguyur kota Palu saat catatan ini kembali disambut Nuansa Pos, media cetak lokal memuat dan sesungguhnya berharap melanjutkan catatan di media Pembangunan terbitan BAPPEDA Sulawesi Tengah. Maka, apa yang dijadikan lead-nya menganggap simpulan dari berbagai media. Cetak maupun elektronik. Berikut catatan yang dibuat tepat berada di warung kopi di pinggir kuala Jl. Setia Budi, 23/9/2011;
Saat ini saya berada
tepat dipinggir kuala bermuara di teluk, tepat berada di warung kopi dekat
jembatan kuning setia budi Palu. Lalu lintas, hiruk pikuk yang terkadang sunyi
senyap, sepintas teriakan spontan dan yang lebih menariknya lagi pengendara
motor dengan kecepatan sekitar 60 km sambil membakar sebatang rokoknya. Sambil
tersenyum dan tertawa kecil tetap saja kutulis cacatan ini sebagai sebuah
catatan, lazimnya sebuah catatan pinggir di salah satu majalah ternama. Kenapa
catatan ini mengambil leadnya seperti yang sedang anda baca ini?
Pastinya, pembicaraan
yang sempat tertunda dengan seorang kawan, bertugas dibidangnya. Biasanya dalam
beberapa catatan, saya istilahkan sebagai tukar informasi jarak dekat. Beberapa
hal yang perlu digaris bawahi adalah memformalkan hal-hal yang tdk formal
menjadi lebih formal.
Dari sekian banyak informasi
disajikan, tertuju pada pemaknaan dari draf RPJP Sulawesi Tengah, disertai visi
dan misinya. Secara garis besar mengisyaratkan untuk melaksanakan keseimbangan
dalam memajukan daerah di kawasan timur Indonesia yang mengarah pada sektor argobisnis
dan kelautan.
Ketika kita memaknai dan
sedikit melirik program prioritas pembangunan dalam arti lebih luas, ada 3 hal
penting; 1) sektor agraris; 2) sektor industri dan yang ke 3) sektor informasi.
Dihampir semua sektor terjabarkan dengan menjawab berbagai simpulan di RPJP.
Namun demikian, terdapat sektor yang bermuara pada muatan lokal yang patut
“dibijaksanai” yakni penguatan pada sektor kebudayaan dengan 7 unsurnya, jika
kita masih melihatnya sebagai sebuah konsep. Kebudayaan acap kali dikaitkan
dengan kesenian semata dan diurutkan pada bagian akhir unsur-unsur itu. Saya
belum melihat nilai dari unsur seni budaya seperti kekuatan audio visual dalam
hal ini film, kecuali disinetron yang direspons Briptu Norman seperti halnya mengadaptasi
styling Syahrul Khan dengan mengambil kekuatan perkapata masyarakat India, melalui
industri filmnya. Habis-habisan memang! Pernah ada beberapa indutri yang telah
dikaryakan oleh para seniman kita terdahulu. Tinombala, judul film diambil dari
kisah nyata peristiwa jatuhnya pesawat digunung Tinombala, Mutiara di
Katulistiwa dan mungkin saja ada lagi yang lainnya. Kenapa tidak!
Tulisan ini sekedar
mengingatkan kita, kekuatan informasi seperti halnya kutipan kalimat people to people contact diamanatkan
dalam pidato kenegaraan. Sepertinya agak sedikit lari dari alur, namun demikian
masih saja dan memang terakumulasi dalam berbagai subsektor, termasuk
didalamnya draf rancangan seperti disebutkan diatas.
Implementasi kongkrit
dari rencana itu, terlihat dari unsur teknologi. Itupun akan mengingatkan kita
betapa kuatnya hak paten atas industri tradisional kita. Kasus lebih nyata pada
reog ponorogo, belum lagi lainnya. Kita punya rahasia industri yang dalam sub
tema kegiatan Pekan Nasional Cinta Sejarah ‘September 2011 dengan mengambil sub
tema dalam Pameran Bersama Museum se Indonesia; Kain khas tradisional di 33
provinsi.
Data dihasilkan dari
inventarisasi terencana melalui berbagai media, dan lazimnya dikenal dangan
data dalam tumpukan kertas-kertas, membolakbalikkan halaman. Kita harus melirik
penyajian data melalui audio visual, dan itu telah dilakukan. Pertanyaannya
apakan maksimal atau tidak. Terpenting telah dimulai. Apresiasi memang tdk
datang dari diri sendiri, ataupun sekelompok orang, penilaian atas sesuatu hal
termasuk didalamnya penyajian data masih mencakup dalam ruang lingkup kajian
secara statistik semata, dinilai oleh orang lain. baik disusun berbentuk
kualitatif yang kemudian dikuantitatifkan, dilengkapi diagram vena ataupun
diagram blok.
Pesatnya perkembangan
teknologi dan komunikasi, tdk dapat disangkal lagi. Menjadikan ia semacam
proses yang berkesinambungan, terus dan terus berkembang diikuti percepatan
pembangunan sebagai wilayah pertemuan. Pembangunan yang mengarah pada proses demokratis, transparan dan responsif.
Circle, terus menerus.
Ketika membaca terbitan
di media Pembangunan terbitan Bappeda edisi 3, banyak hal yang perlu dicermati
sebagai sesuatu sajian dalam bentuk media. Informasi terkuat saya kira terletak
pada sajian, “Data Base kita masih Lemah” dikomentari salah seorang perwakilan
perseorangan ditingkat pusat, Hj. Nurmawaty Bantilan, SE. Kilasan penyajian
terjawab ketika kekuatan data dan informasi, sejalan - berbarengan. Tanpa data,
kita tidak mampu mengkomunikasikan hingga menjadi sebuah informasi. Saya kira
dalam tulisan yang disajikan dalam bentuk reportase itu, jauh sebelumnya telah
dilakukan dengan lompatan kekuatan informasinya pada wilayahnya, mengarah pada
sistem komunikasi jarak jauh. Govermant,
salah satu kunci utama dalam mengakumulasi data-data pada tingkat satuan kerja
perangkat daerah. Dimana data-data itu diperoleh? Tentunya pada
komunitas-komunitas tertentu, dijadikan objek kajian yang ingin dilirik. Data
dasar biasanya tertuju pada pointers melalui konsep kebudayaan dengan 7
unsurnya itu. Penguatan data dasar kebudayaan yang akan bermuara pada masuk
tidaknya wisatawan lokal, nusantara maupun mancanegara. Diagframa panorama
budaya mendukung dengan kawasan penunjang, dipelihara sebagai sesuatu daerah
tujuan wisata. Untuk membicarakan ini, tentunya juga ada beberapa aspek praktis
dengan pembagian zona inti. Ini tugas para akademisi sesuai dengan bidang dalam
melihat dampak maju mundurnya sebuah perubahan dalam hal ini pembangunan.
Realitas pembangunan
dibeberapa daerah telah menunjukkan dengan tidak meninggalkan berbagai aspek,
sibut saja jalan trans Sumatra dirindangi perkebunan karet. Ditemukan tidak, adanya
pabrik disana dengan menghasilkan produk brigestone-nya? Ada-lah, ini bukannya
lompatan melainkan proses dengan sumber daya alam dan manusia tentunya.
Berbagai elemen terlibat untuk itu. Bukankan salah satu tujuan MDGs mengarah hal
yang sama?
Saya pikir pengelola
media pembangunan yang lebih ngerti ketika bicara persoalan itu. Tulisan ini
dibuat guna mengevaluasi data yang tertuang dengan pendekatan budaya dinamis.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.