Rabu, 12 Oktober 2011

Evaluasi Data, Terevaluasi...?

Saat ini saya berada tepat dipinggir kuala bermuara di teluk, tepat berada di warung kopi dekat jembatan kuning setia budi Palu. Lalu lintas, hiruk pikuk yang terkadang sunyi senyap, sepintas teriakan spontan dan yang lebih menariknya lagi pengendara motor dengan kecepatan sekitar 60 km sambil membakar sebatang rokoknya. Sambil tersenyum dan tertawa kecil tetap saja kutulis cacatan ini sebagai sebuah catatan, lazimnya sebuah catatan pinggir di salah satu majalah ternama. Kenapa catatan ini mengambil leadnya seperti yang sedang anda baca ini?

Pastinya, pembicaraan yang sempat tertunda dengan seorang kawan, bertugas dibidangnya. Biasanya dalam beberapa catatan, saya istilahkan sebagai tukar informasi jarak dekat. Beberapa hal yang perlu digaris bawahi adalah memformalkan hal-hal yang tdk formal menjadi lebih formal.

Dari sekian banyak informasi disajikan, tertuju pada pemaknaan dari draf RPJP Sulawesi Tengah, disertai visi dan misinya. Secara garis besar mengisyaratkan untuk melaksanakan keseimbangan dalam memajukan daerah di kawasan timur Indonesia yang mengarah pada sektor argobisnis dan kelautan.

Ketika kita memaknai dan sedikit melirik program prioritas pembangunan dalam arti lebih luas, ada 3 hal penting; 1) sektor agraris; 2) sektor industri dan yang ke 3) sektor informasi. Dihampir semua sektor terjabarkan dengan menjawab berbagai simpulan di RPJP. Namun demikian, terdapat sektor yang bermuara pada muatan lokal yang patut “dibijaksanai” yakni penguatan pada sektor kebudayaan dengan 7 unsurnya, jika kita masih melihatnya sebagai sebuah konsep. Kebudayaan acap kali dikaitkan dengan kesenian semata dan diurutkan pada bagian akhir unsur-unsur itu. Saya belum melihat nilai dari unsur seni budaya seperti kekuatan audio visual dalam hal ini film, kecuali disinetron yang direspons Briptu Norman seperti halnya mengadaptasi styling Syahrul Khan dengan mengambil kekuatan perkapata masyarakat India, melalui industri filmnya. Habis-habisan memang! Pernah ada beberapa indutri yang telah dikaryakan oleh para seniman kita terdahulu. Tinombala, judul film diambil dari kisah nyata peristiwa jatuhnya pesawat digunung Tinombala, Mutiara di Katulistiwa dan mungkin saja ada lagi yang lainnya. Kenapa tidak!

Tulisan ini sekedar mengingatkan kita, kekuatan informasi seperti halnya kutipan kalimat people to people contact diamanatkan dalam pidato kenegaraan. Sepertinya agak sedikit lari dari alur, namun demikian masih saja dan memang terakumulasi dalam berbagai subsektor, termasuk didalamnya draf rancangan seperti disebutkan diatas.

Implementasi kongkrit dari rencana itu, terlihat dari unsur teknologi. Itupun akan mengingatkan kita betapa kuatnya hak paten atas industri tradisional kita. Kasus lebih nyata pada reog ponorogo, belum lagi lainnya. Kita punya rahasia industri yang dalam sub tema kegiatan Pekan Nasional Cinta Sejarah ‘September 2011 dengan mengambil sub tema dalam Pameran Bersama Museum se Indonesia; Kain khas tradisional di 33 provinsi.

Data dihasilkan dari inventarisasi terencana melalui berbagai media, dan lazimnya dikenal dangan data dalam tumpukan kertas-kertas, membolakbalikkan halaman. Kita harus melirik penyajian data melalui audio visual, dan itu telah dilakukan. Pertanyaannya apakan maksimal atau tidak. Terpenting telah dimulai. Apresiasi memang tdk datang dari diri sendiri, ataupun sekelompok orang, penilaian atas sesuatu hal termasuk didalamnya penyajian data masih mencakup dalam ruang lingkup kajian secara statistik semata, dinilai oleh orang lain. baik disusun berbentuk kualitatif yang kemudian dikuantitatifkan, dilengkapi diagram vena ataupun diagram blok.

Pesatnya perkembangan teknologi dan komunikasi, tdk dapat disangkal lagi. Menjadikan ia semacam proses yang berkesinambungan, terus dan terus berkembang diikuti percepatan pembangunan sebagai wilayah pertemuan. Pembangunan yang mengarah pada proses demokratis, transparan dan responsif. Circle, terus menerus.

Ketika membaca terbitan di media Pembangunan terbitan Bappeda edisi 3, banyak hal yang perlu dicermati sebagai sesuatu sajian dalam bentuk media. Informasi terkuat saya kira terletak pada sajian, “Data Base kita masih Lemah” dikomentari salah seorang perwakilan perseorangan ditingkat pusat, Hj. Nurmawaty Bantilan, SE. Kilasan penyajian terjawab ketika kekuatan data dan informasi, sejalan - berbarengan. Tanpa data, kita tidak mampu mengkomunikasikan hingga menjadi sebuah informasi. Saya kira dalam tulisan yang disajikan dalam bentuk reportase itu, jauh sebelumnya telah dilakukan dengan lompatan kekuatan informasinya pada wilayahnya, mengarah pada sistem komunikasi jarak jauh. Govermant, salah satu kunci utama dalam mengakumulasi data-data pada tingkat satuan kerja perangkat daerah. Dimana data-data itu diperoleh? Tentunya pada komunitas-komunitas tertentu, dijadikan objek kajian yang ingin dilirik. Data dasar biasanya tertuju pada pointers melalui konsep kebudayaan dengan 7 unsurnya itu. Penguatan data dasar kebudayaan yang akan bermuara pada masuk tidaknya wisatawan lokal, nusantara maupun mancanegara. Diagframa panorama budaya mendukung dengan kawasan penunjang, dipelihara sebagai sesuatu daerah tujuan wisata. Sebut saja peninggalan megalitik di lembah bada kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (baca; Joko Siswanto, laporan penelitian arkeologi). Untuk membicarakan ini, tentunya juga ada beberapa aspek praktis dengan pembagian zona inti. Ini tugas para akademisi sesuai dengan bidang dalam melihat dampak maju mundurnya sebuah perubahan dalam hal ini pembangunan.

Realitas pembangunan dibeberapa daerah telah menunjukkan dengan tidak meninggalkan berbagai aspek, sibut saja jalan trans Sumatra dirindangi perkebunan karet. Ditemukan tidak, adanya pabrik disana dengan menghasilkan produk brigestone-nya? Ada-lah, ini bukannya lompatan melainkan proses dengan sumber daya alam dan manusia tentunya. Berbagai elemen terlibat untuk itu. Bukankan salah satu tujuan MDGs mengarah hal yang sama?

Saya pikir pengelola media pembangunan yang lebih ngerti ketika bicara persoalan itu. Tulisan ini dibuat guna mengevaluasi data yang tertuang dengan pendekatan budaya dinamis *)

BALIA di Etnik Kaili Sulawesi Tengah


Buku ini ditulis;

Drs. Pasaulolo Dg. Malindu, lahir di Palu-Sulawesi Tengah, 27 Januari 1947. Seni sastra ditekuninya sejak umur 16 tahun. Menamatkan studi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Memperoleh gelar sarjana ditahun 1986.

Ichsan Masyhuda, S.Sos. lahir di Palu-Sulawesi Tengah, 9 Oktober 1970. Menamatkan studi pada Jurusan Sosiologi Fisip Universitas Tadulako.

Saat buku ini ditulis dan diterbitkan Dewan Kesenian Sulawesi Tengah (DKST) di tahun 1999, keduanya bertugas di Bidang Kesenian Kanwil Depdiknas Provinsi Sulawesi Tengah.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management