Selasa, 29 November 2011
Lukisan Catatan di Media Cetak
Senin, 28 November 2011
Jumat, 25 November 2011
Pilar Harmoni di Swara Persaudaraan
Pengggalan syair "....ini sebuah kisah di zaman kiwari, manusia, merendah mimpi dimasa depan..." Pilar Harmoni di Swara Persaudaraannya masyarakat kota, dimainkan art'80 n Nizar "Zaro" Nawawian. Lagu ini sangat akrab ditelinga dari zaman ke zaman. Awalnya didengarkan grup band Interview, penggebug drum Tahmidy Lasahido, akrap disapa Ebe dan di bass Ermas Cintawan, biasanya disapa Cin di era 80-an, hadir disini.
Gerwani; Kisah Tapol di Kamp Platungan
Menyusul melutusnya peristiwa G30S, para anggota Gerwani ditangkap aparat rezim Orde Baru. Mereka dikamp isolasi tahanan politik, khusus wanita di Platungan. Padahal, mereka sebetulnya hanya korban prasangka dan kecurigaan, sama sekali bukan anggota perempuan itu. Salah seorang salah tangkap itu adalah Sumilah, ikut ditahan dan menderita.
Kehidupan para tahanan politik wanita di Platungan sarat dengan tindakan kekerasan fisik maupun mental. Disana, selama hampir 10 tahun mereka dijaga oleh para tentara yang semuanya lakilaki. Pelecehan seksual dan pemerkosaan tak jarang meninmpah mereka. Beberapa diantaranya bahkan sampai hamil dan melahirkan di kamp tahanan di Kendal, Jawa Tengah tersebut.
Inilah kisah Sumilah dan para perempuan lainnya yang terlanjur di cap komunis, bahkan setelah dibebaskan 1979 masih saja didera hukuman sosial, disingkirkan dari kehidupan masyarakat normal.
Selasa, 22 November 2011
Perjalanan Jakarta Tempo Dulu
Ide, gagasan nyata adanya, acuan kerja yang terjabarkan, tertuang disana. Kerangka bahkan mastering bukunyapun, rampung ditulis Jamrin Abubakar berdasar pada kumpulan karya-karyanya dimedia cetak, terus dilakukan. Seri informasi ini penting adanya, meceritakan riwayat hidup, masing-masing; 1) Galib Lasahido, 2) Rusdy Toana, 3) Ladudin Bungkato, 4) Alimin Lasasi, 5) Ischak Moro, 6) J.K. Tumakaka, 7) Hamid Rana, 8) Masyhuddin Masyhuda dan ke-9) Zulfikar Abdullah.
Bagaimana dengan isi Seri Informasi 9 Tokoh ini ? Simak dan Insya Allah diterbitkan bertepatan dengan HUT Provinsi Sulawesi Tengah, 13 April 2012.
"Tuhan" di Balik Jeruji
Bagian catatan diperjalanan malamnya kota Jakarta, tertuju pada agenda sarasehan. Tak disangka salah seorang pembicara dipelataran TIM, Emha Ainun Nadjib, Hampir saja tangan ini mengacungkan jempol, sesaat membawanya dalam menjernihkan pikiran menata hati melalui album musik Kiai Kanjeng; kado Muhammad Tomboati dengan gamelan yang dimainkan seirama dengan alunan kata-katanya.
Rabu, 12 Oktober 2011
Evaluasi Data, Terevaluasi...?
Pastinya, pembicaraan yang sempat tertunda dengan seorang kawan, bertugas dibidangnya. Biasanya dalam beberapa catatan, saya istilahkan sebagai tukar informasi jarak dekat. Beberapa hal yang perlu digaris bawahi adalah memformalkan hal-hal yang tdk formal menjadi lebih formal.
Dari sekian banyak informasi disajikan, tertuju pada pemaknaan dari draf RPJP Sulawesi Tengah, disertai visi dan misinya. Secara garis besar mengisyaratkan untuk melaksanakan keseimbangan dalam memajukan daerah di kawasan timur Indonesia yang mengarah pada sektor argobisnis dan kelautan.
Ketika kita memaknai dan sedikit melirik program prioritas pembangunan dalam arti lebih luas, ada 3 hal penting; 1) sektor agraris; 2) sektor industri dan yang ke 3) sektor informasi. Dihampir semua sektor terjabarkan dengan menjawab berbagai simpulan di RPJP. Namun demikian, terdapat sektor yang bermuara pada muatan lokal yang patut “dibijaksanai” yakni penguatan pada sektor kebudayaan dengan 7 unsurnya, jika kita masih melihatnya sebagai sebuah konsep. Kebudayaan acap kali dikaitkan dengan kesenian semata dan diurutkan pada bagian akhir unsur-unsur itu. Saya belum melihat nilai dari unsur seni budaya seperti kekuatan audio visual dalam hal ini film, kecuali disinetron yang direspons Briptu Norman seperti halnya mengadaptasi styling Syahrul Khan dengan mengambil kekuatan perkapata masyarakat India, melalui industri filmnya. Habis-habisan memang! Pernah ada beberapa indutri yang telah dikaryakan oleh para seniman kita terdahulu. Tinombala, judul film diambil dari kisah nyata peristiwa jatuhnya pesawat digunung Tinombala, Mutiara di Katulistiwa dan mungkin saja ada lagi yang lainnya. Kenapa tidak!
Tulisan ini sekedar mengingatkan kita, kekuatan informasi seperti halnya kutipan kalimat people to people contact diamanatkan dalam pidato kenegaraan. Sepertinya agak sedikit lari dari alur, namun demikian masih saja dan memang terakumulasi dalam berbagai subsektor, termasuk didalamnya draf rancangan seperti disebutkan diatas.
Implementasi kongkrit dari rencana itu, terlihat dari unsur teknologi. Itupun akan mengingatkan kita betapa kuatnya hak paten atas industri tradisional kita. Kasus lebih nyata pada reog ponorogo, belum lagi lainnya. Kita punya rahasia industri yang dalam sub tema kegiatan Pekan Nasional Cinta Sejarah ‘September 2011 dengan mengambil sub tema dalam Pameran Bersama Museum se Indonesia; Kain khas tradisional di 33 provinsi.
Data dihasilkan dari inventarisasi terencana melalui berbagai media, dan lazimnya dikenal dangan data dalam tumpukan kertas-kertas, membolakbalikkan halaman. Kita harus melirik penyajian data melalui audio visual, dan itu telah dilakukan. Pertanyaannya apakan maksimal atau tidak. Terpenting telah dimulai. Apresiasi memang tdk datang dari diri sendiri, ataupun sekelompok orang, penilaian atas sesuatu hal termasuk didalamnya penyajian data masih mencakup dalam ruang lingkup kajian secara statistik semata, dinilai oleh orang lain. baik disusun berbentuk kualitatif yang kemudian dikuantitatifkan, dilengkapi diagram vena ataupun diagram blok.
Pesatnya perkembangan teknologi dan komunikasi, tdk dapat disangkal lagi. Menjadikan ia semacam proses yang berkesinambungan, terus dan terus berkembang diikuti percepatan pembangunan sebagai wilayah pertemuan. Pembangunan yang mengarah pada proses demokratis, transparan dan responsif. Circle, terus menerus.
Ketika membaca terbitan di media Pembangunan terbitan Bappeda edisi 3, banyak hal yang perlu dicermati sebagai sesuatu sajian dalam bentuk media. Informasi terkuat saya kira terletak pada sajian, “Data Base kita masih Lemah” dikomentari salah seorang perwakilan perseorangan ditingkat pusat, Hj. Nurmawaty Bantilan, SE. Kilasan penyajian terjawab ketika kekuatan data dan informasi, sejalan - berbarengan. Tanpa data, kita tidak mampu mengkomunikasikan hingga menjadi sebuah informasi. Saya kira dalam tulisan yang disajikan dalam bentuk reportase itu, jauh sebelumnya telah dilakukan dengan lompatan kekuatan informasinya pada wilayahnya, mengarah pada sistem komunikasi jarak jauh. Govermant, salah satu kunci utama dalam mengakumulasi data-data pada tingkat satuan kerja perangkat daerah. Dimana data-data itu diperoleh? Tentunya pada komunitas-komunitas tertentu, dijadikan objek kajian yang ingin dilirik. Data dasar biasanya tertuju pada pointers melalui konsep kebudayaan dengan 7 unsurnya itu. Penguatan data dasar kebudayaan yang akan bermuara pada masuk tidaknya wisatawan lokal, nusantara maupun mancanegara. Diagframa panorama budaya mendukung dengan kawasan penunjang, dipelihara sebagai sesuatu daerah tujuan wisata. Sebut saja peninggalan megalitik di lembah bada kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (baca; Joko Siswanto, laporan penelitian arkeologi). Untuk membicarakan ini, tentunya juga ada beberapa aspek praktis dengan pembagian zona inti. Ini tugas para akademisi sesuai dengan bidang dalam melihat dampak maju mundurnya sebuah perubahan dalam hal ini pembangunan.
Realitas pembangunan dibeberapa daerah telah menunjukkan dengan tidak meninggalkan berbagai aspek, sibut saja jalan trans Sumatra dirindangi perkebunan karet. Ditemukan tidak, adanya pabrik disana dengan menghasilkan produk brigestone-nya? Ada-lah, ini bukannya lompatan melainkan proses dengan sumber daya alam dan manusia tentunya. Berbagai elemen terlibat untuk itu. Bukankan salah satu tujuan MDGs mengarah hal yang sama?
Saya pikir pengelola media pembangunan yang lebih ngerti ketika bicara persoalan itu. Tulisan ini dibuat guna mengevaluasi data yang tertuang dengan pendekatan budaya dinamis *)
BALIA di Etnik Kaili Sulawesi Tengah
Buku ini ditulis;
Drs. Pasaulolo Dg. Malindu, lahir di Palu-Sulawesi Tengah, 27 Januari 1947. Seni sastra ditekuninya sejak umur 16 tahun. Menamatkan studi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Memperoleh gelar sarjana ditahun 1986.
Ichsan Masyhuda, S.Sos. lahir di Palu-Sulawesi Tengah, 9 Oktober 1970. Menamatkan studi pada Jurusan Sosiologi Fisip Universitas Tadulako.
Saat buku ini ditulis dan diterbitkan Dewan Kesenian Sulawesi Tengah (DKST) di tahun 1999, keduanya bertugas di Bidang Kesenian Kanwil Depdiknas Provinsi Sulawesi Tengah.
Minggu, 31 Juli 2011
Sabtu, 30 Juli 2011
Jumat, 29 Juli 2011
Jumat, 08 Juli 2011
Rabu, 06 Juli 2011
Jumat, 01 Juli 2011
Senin, 11 April 2011
Senin, 04 April 2011
Rekreatif dalam Lintasan Sejarah Musik
Tidak bisa dipungkiri, kiprah musik dalam perkembangannya di kota Palu, mulai mengakar pada dekade 80-an. Tepatnya di tahun 1986. Madness Enterprise sebagai penggagas event yang diberi tajuk Festival band dan diikiti kurang lebih 19 grup band. Baik pemula maupun yang sudah malang melintang dipanggung musik, dijadikan sebagai festival peristiwa. Mereka diberi kesempatan yang sama berkompetisi dalam satu stage. Kemudian hampir tidak bisa dihitung lagi, berapa perisiwa bermusik yang pernah digelar, baik di kota Palu maupun sedikit keluar wilayah kota Palu. Dalam satu tahun saja, pernah digelar lima kali perisitwa bermusik yang dikemas dalam bentuk festival. Beberapa festival yang mungkin dikatakan sukses, sebut saja; Festival Rock se Indonesia Timur (1987), Festival Jazz Pop (1987), Campus Open Air Music (1988), Fesival Band Kampus (1990), Nosarara Musik Rock Festival (1992) dan Djarum Super Musik Rock Nabanga (1993).
Kesuksesan peristiwa-peristiwa itu, baru sebatas partisipasi untuk menjadikan akses musik menjadi lebih semarak ketika itu. Ia belum mampu menjembatani sebuah grup band untuk berkiprah lebih jauh, semisal ikut serta dalam festival rock se Indonesia, punyanya Log Zhelebour.
Harapan tinggalah keinginan, lahirnya generasi musik yang baru diperhadapkan pada pertanyaan-pertanyaan klasik, seakan akses bermusik yang telah dibekali melalui ajang festival, tidak mampu memberikan “angin segar”. Akan dikemanakan mereka ? Apakah hanya sampai di festival-festival ? Pertanyaan itu sering kali terlontar, ketika festival band kembali marak digelar. Dalam kondisi demikian, maka yang diharapkan dari mereka adalah mutu dan gaung musik Palu, bisa menggema dipelataran Nusantara. Bukan saja secara individual, seperti Otte Abadi, Umar Alamri (Umar Palu), Abdee Negara, Hengki Supit, Pasha dan Oncy Ungu, Reza, Rival serta Nizar (Zaro). Akan tetapi lebih dari itu, yakni sebuah grup band. Entahlah, proses bermusik terus mengalir dalam lintasan sejarah mengikuti perkembangannya sendiri. Entah kini, esok dan nanti !chan